Senin, 11 Februari 2013

MULTIKULTURALISME

Pengertian Multikulturalisme
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.  Istilah multikultural ini sering digunakan untuk menggambarkan tentang kondisi masyarakat yang terdiri dari keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda.
Selanjutnya dalam khasanah keilmuan, istilah multikultural ini dibedakan ke dalam beberapa ekspresi yang lebih sederhana, seperti pluralitas (plurality), keragaman (diversity) dan multikultural (multicultural) itu sendiri. Konsep pluralis mengandaikan adanya “hal-hal yang lebihn dari satu (many)”, sedangkan keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang “lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan. Sedangkan multikulturalisme, sebenarnya masih tergolong relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural.
Sebagai terminologi baru, multikultiralisme, menurut HAR. Tilaar, masih belum banyak dipahami orang.Karena memang istilah multikulturalisme itu sendiri ternyata bukanlah hal yang mudah.  Di dalamnya mengandung dua pengertian yang sangat kompleks, yaitu “multi” yang berati jamak atau plural, dan “kulural” yang berarti  kultur atau budaya.
Pada tahap pertama multikulturalisme baru mengandung hal-hal yang esensial di dalam perjuangan kelakuan budaya yang berbeda (the other). Dan pada tahap perkembangan berikutnya yang disebut gelombang kedua (second wave), dari paham multikulturalisme telah menampung berbagai jenis pemikiran baru sebagai berikut;Pertama,  pengaruh studi kultural. Studi kultural (cultural studies) antara lain melihat secara kritis masalah-masalah esensial di dalam kebudayaan kontemporer seperti identitas kelompok, distribusi kekuasaan di dalam masyarakat yang diskriminatif, peranan kelompok-kelompok masyarakat yang termarjinalisasi, feminisme, dan maslah-maslah kontemporer seperti toleransi antarkelompok dan agama.
Kedua, postkolonialisme. Pemikiran postkolonialisme meloihat kembali hubungan antara eks penjajah dengan daerah jajahannya yang telah meninggalkan banyak tarnish yang biasanya merendahkan kaum terjajah. Pandangan-pandangan postkolonialisme antara lain ingin mengungkit kembali nilai-nilai indigenous di dalam budaya sendiri dan berupaya untuk melahirkan kembali kebanggaan terhadap budaya asing.
Ketiga, globalisasi. Globalisasi ternyata telah melahirkan budaya tellurian yang memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Untuk itu timbul suatu upaya untuk menentang globalisasi dengan melihat kembali peranan budaya-budaya yang berjenis-jenis di dalam masyarakat. Revitalisasi budaya inner merupakan upaya menentang globalisasi yang mengarah kepada monokultural budaya dunia.
Keempat, feminisme dan post peminisme. Gerakan feminisme yang semula berupaya untuk mencari kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki kini meningkat kea rah kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan bukan hanya menuntut penghargaan yang sama dengan fungsi yang sama dengan laki-laki tetapi juga sebagai mitra yang sejajar dalam melaksanakan semua tugas dan pekerjaan di dalam masyarkat.
Kelima, Post-strukturalisme. Pandangan ini mengemukakan mengenai perlunya dekonstruksi dam rekonstruksi masyarakat yang telah mempunyai struktur-struktur yang telah mapan yang bisanya hanya untuk melanggengkan struktur kekuasaan yang ada.
Dari gambaran pemahaman tentang multikultural yang dikemukakan di atas, maka dapat  dipahami bahwa inti dari konsep multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), maka multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang public. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh Negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksistensinya. Diversitas dalam masyarakat complicated disposition berupa banyak hal, termasuk perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun kelompok dan yang dikonstruksikan secara bersama dan menjadi semacam common sense.
Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh disposition dikategorikan dalam tiga hal, yaitu; Pertama, perbedaan subkultur (subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang  berlaku.
Kedua, perbedaan dalam perspektif (perspective diversity), yaitu individu atau kelompok dengan perspektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya.
Ketiga, perbedaan komunitas (communal diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai dengan identitas komunal mereka (indigeneous people approach of life).


     2.Sejarah Multikulturalisme

 Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhiku Parekh, multikulturalisme baru sekitar tahun 1970-an mulai muncuil pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus meultikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah tiga decade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting, yaitu; Pertama, multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini...
Kedua, yaitu yang disebut gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperealisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/ masyarakat conform (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modernisme, dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi struktur kemapanan dalam masyarakat.
Multikulturalisme gelombang kedua ini, menurut Steve Fuller pada gilirannya memunculkan tiga tantangan yang harus diperhatikan sekaligus harus diwaspadai, yaitu, pertama, adanya hegemoni Barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya Negara-negara berkembang perlu mempelajari sebab-sebab dari hegemoni Barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya dalam mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia Barat. Kedua, esensialisme budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu sendiri di dalam epoch globalisasi. Ketiga, proses globalisasi, bahwa globalisasi disposition memberangus identitas dan kepribadian suatu budaya.
Oleh kaena itu, untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang multikulturalisme, Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi yang harus diperhatikan dalam kajian ini, yaitu; Pertama, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi.  Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia tidak disposition bersikap kritis terhadap complement budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut.
Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi dari complement nil;aid an cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan suatu entitas yang relations sekaligus prejudiced dan memerlukan budaya lainuntuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya joke yang berhak memaksakan budayanya kepada complement budaya lain.
Ketiga,  pada dasarnya, budaya secara inner merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antarperbedeaan tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegaskan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.
Dalam sejarahnya, melani Budianata menyatakan bahwa multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang diwacanak oleh J. Hector St. John de Crevecour seorang imigran asal Normandia yang menggambarkan bercampurnya berbagai manusia dari latar belakang berbeda menjadi bangsa baru “manusia baru”. Dalam hal ini Hector ingin menekankan penyatuan bangsa dan ‘melelehkan” budaya asal, sehingga seluruh imigran amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya Amerika. Dalam hal ini bagaimanapun juga, konsep melting pot masih menunjukkan perspektif yang bersifat monokultir, karena acuan atau “cetakan budaya” yang dipakai untuk “melelehkan” berbagai asal budaya tersebut mempunyai karakteristik yang secara umum diwarnai oleh kelompok berkulit putih, berorientasi budaya anglo-saksos dan bernuansa Kristen protestan (White Anglo Saxson Protestan) – biasa disebut WASP – sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa.
Wacana multikultural di Barat, pada gilirannya akan menjadi isu tellurian seiring dengan berjalannya proses globalisasi yang tidak mengenal demarkasi antarnegara. Terlebih lagi dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan terjadinya interaksi antarbudaya di tengah masyarakat dunia.
     3. Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural merupakan strategi pembelajaran yang menjadikan latar belakang budya mahasiswa yang beraneka ragam digunakan sebagai usaha untuk meningkatkan pembelajaran mahasiswa di kelas dan lingkungan kampus. Kondisi yang demikian itu dirancang untuk menunjang dan memperluas konsep-konsep budaya, perbedaan, kesamaan, dan demokrasi. Ada pula yang menyatakan bahwa pendidikan multicultural adalah sebuah ide atau konsep, sebuah gerakan pembaharuan pendidikan dan proses. Konsep ini muncul atas dasar bahwa semua mahasiswa, tanpa menghiraukan jenis dan statusnya, punya kesempatan yang sama untuk belajar di kampus formal.
Dua definisi di atas tampaknya lahir pada seting historis khusus, yakni pada lembaga-lembaga pendidikan tertentu di wilayah Amerika yang pada awalnya diwarnai oleh complement pendidikan yang mengandung diskriminasi etnis, yang belakangan hari mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Pendidikan dengan wawasan multikultural dalam rumusan James A. bank adalah konsep ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman social, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun Negara. Sementara menurut Sonia Nieto, pendidikan multicultural adalah proses pendiudikan yang komprehensif dan mendasar bagi semua peserta didik. Jenis pendidikan menentang bentuk rasisme dan segala bentuk diskriminasi di kampus, masyarakat dengan menerima serta mengafirmasi prularitas (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi, gender, dan lain sebagainya) yang terefleksikan di antara peserta didik, komunitas mereka, dan guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi yang dilakukan di antara para guru, murid, dan keluarga serta keseluruhan suasana belajar mengajar. Karena jenis pendidikan ini merupakan pedagigi kritis, refleksi dan menjadi basement aksi perubahan dalam masyarkat, pendidikan multikulral mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial.

sumber :http://curuk-sinobi.blogspot.com/2012/05/pengertian-multikulturalisme-sejarah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar