Secara
sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”. Istilah
multikultural ini sering digunakan untuk menggambarkan tentang kondisi
masyarakat yang terdiri dari keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya
yang berbeda.
Selanjutnya
dalam khasanah keilmuan, istilah multikultural ini dibedakan ke dalam
beberapa ekspresi yang lebih sederhana, seperti pluralitas (plurality), keragaman (diversity) dan multikultural (multicultural) itu sendiri. Konsep pluralis mengandaikan adanya “hal-hal yang lebihn dari satu (many)”,
sedangkan keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang “lebih dari
satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan.
Sedangkan multikulturalisme, sebenarnya masih tergolong relatif baru.
Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas,
keragaman, dan multikultural.
Sebagai
terminologi baru, multikultiralisme, menurut HAR. Tilaar, masih belum
banyak dipahami orang.Karena memang istilah multikulturalisme itu
sendiri ternyata bukanlah hal yang mudah. Di dalamnya mengandung dua
pengertian yang sangat kompleks, yaitu “multi” yang berati jamak atau
plural, dan “kulural” yang berarti kultur atau budaya.
Pada tahap pertama multikulturalisme baru mengandung hal-hal yang esensial di dalam perjuangan kelakuan budaya yang berbeda (the other). Dan pada tahap perkembangan berikutnya yang disebut gelombang kedua (second wave), dari paham multikulturalisme telah menampung berbagai jenis pemikiran baru sebagai berikut;Pertama, pengaruh studi kultural. Studi kultural (cultural studies)
antara lain melihat secara kritis masalah-masalah esensial di dalam
kebudayaan kontemporer seperti identitas kelompok, distribusi kekuasaan
di dalam masyarakat yang diskriminatif, peranan kelompok-kelompok
masyarakat yang termarjinalisasi, feminisme, dan maslah-maslah
kontemporer seperti toleransi antarkelompok dan agama.
Kedua,
postkolonialisme. Pemikiran postkolonialisme meloihat kembali hubungan
antara eks penjajah dengan daerah jajahannya yang telah meninggalkan
banyak tarnish yang biasanya merendahkan kaum terjajah.
Pandangan-pandangan postkolonialisme antara lain ingin mengungkit
kembali nilai-nilai indigenous di dalam budaya sendiri dan berupaya untuk melahirkan kembali kebanggaan terhadap budaya asing.
Ketiga,
globalisasi. Globalisasi ternyata telah melahirkan budaya tellurian
yang memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Untuk itu timbul suatu
upaya untuk menentang globalisasi dengan melihat kembali peranan
budaya-budaya yang berjenis-jenis di dalam masyarakat. Revitalisasi
budaya inner merupakan upaya menentang globalisasi yang mengarah kepada
monokultural budaya dunia.
Keempat,
feminisme dan post peminisme. Gerakan feminisme yang semula berupaya
untuk mencari kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki kini
meningkat kea rah kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Kaum
perempuan bukan hanya menuntut penghargaan yang sama dengan fungsi yang
sama dengan laki-laki tetapi juga sebagai mitra yang sejajar dalam
melaksanakan semua tugas dan pekerjaan di dalam masyarkat.
Kelima,
Post-strukturalisme. Pandangan ini mengemukakan mengenai perlunya
dekonstruksi dam rekonstruksi masyarakat yang telah mempunyai
struktur-struktur yang telah mapan yang bisanya hanya untuk
melanggengkan struktur kekuasaan yang ada.
Dari
gambaran pemahaman tentang multikultural yang dikemukakan di atas,
maka dapat dipahami bahwa inti dari konsep multikulturalisme adalah
kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa
memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang
lebih dari satu), maka multikulturalisme memberikan penegasan bahwa
dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang public.
Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap
keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda
saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas
itu diperlakukan sama oleh Negara. Oleh karena itu, multikulturalisme
sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition)
terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus
diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksistensinya. Diversitas
dalam masyarakat complicated disposition berupa banyak hal, termasuk
perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun kelompok dan
yang dikonstruksikan secara bersama dan menjadi semacam common sense.
Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh disposition dikategorikan dalam tiga hal, yaitu; Pertama, perbedaan subkultur (subculture diversity),
yaitu individu atau sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara
pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar dengan sistem
nilai atau budaya pada umumnya yang berlaku.
Kedua, perbedaan dalam perspektif (perspective diversity), yaitu individu atau kelompok dengan perspektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya.
Ketiga, perbedaan komunitas (communal diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai dengan identitas komunal mereka (indigeneous people approach of life).
Sebagai
sebuah gerakan, menurut Bhiku Parekh, multikulturalisme baru sekitar
tahun 1970-an mulai muncuil pertama kali di Kanada dan Australia,
kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu,
diskursus meultikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah
tiga decade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua
gelombang penting, yaitu; Pertama, multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini...
Kedua, yaitu
yang disebut gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang
melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan,
diantaranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin
akademik lain, pembebasan melawan imperealisme dan kolonialisme, gerakan
pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/ masyarakat conform (indigeneous people),
post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modernisme,
dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi struktur kemapanan dalam
masyarakat.
Multikulturalisme
gelombang kedua ini, menurut Steve Fuller pada gilirannya memunculkan
tiga tantangan yang harus diperhatikan sekaligus harus diwaspadai,
yaitu, pertama, adanya hegemoni Barat dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya Negara-negara
berkembang perlu mempelajari sebab-sebab dari hegemoni Barat dalam
bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya dalam
mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia Barat. Kedua, esensialisme budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia
dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang
sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu sendiri di dalam
epoch globalisasi. Ketiga, proses globalisasi, bahwa globalisasi disposition memberangus identitas dan kepribadian suatu budaya.
Oleh
kaena itu, untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang
multikulturalisme, Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi yang harus
diperhatikan dalam kajian ini, yaitu; Pertama, pada dasarnya
manusia akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri dimana
dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa
manusia tidak disposition bersikap kritis terhadap complement budaya
tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu
melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut.
Kedua,
perbedaan budaya merupakan representasi dari complement nil;aid an
cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu
budaya merupakan suatu entitas yang relations sekaligus prejudiced dan
memerlukan budaya lainuntuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya
joke yang berhak memaksakan budayanya kepada complement budaya lain.
Ketiga, pada
dasarnya, budaya secara inner merupakan entitas yang plural yang
merefleksikan interaksi antarperbedeaan tradisi dan untaian cara
pandang. Hal ini tidak berarti menegaskan koherensi dan identitas
budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk,
terus berproses dan terbuka.
Dalam sejarahnya, melani Budianata menyatakan bahwa multikulturalisme diawali dengan teori melting pot
yang diwacanak oleh J. Hector St. John de Crevecour seorang imigran
asal Normandia yang menggambarkan bercampurnya berbagai manusia dari
latar belakang berbeda menjadi bangsa baru “manusia baru”. Dalam hal ini
Hector ingin menekankan penyatuan bangsa dan ‘melelehkan” budaya asal,
sehingga seluruh imigran amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni
budaya Amerika. Dalam hal ini bagaimanapun juga, konsep melting pot
masih menunjukkan perspektif yang bersifat monokultir, karena acuan
atau “cetakan budaya” yang dipakai untuk “melelehkan” berbagai asal
budaya tersebut mempunyai karakteristik yang secara umum diwarnai oleh
kelompok berkulit putih, berorientasi budaya anglo-saksos dan bernuansa
Kristen protestan (White Anglo Saxson Protestan) – biasa disebut WASP – sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa.
Wacana
multikultural di Barat, pada gilirannya akan menjadi isu tellurian
seiring dengan berjalannya proses globalisasi yang tidak mengenal
demarkasi antarnegara. Terlebih lagi dengan semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan terjadinya interaksi
antarbudaya di tengah masyarakat dunia.
3. Pendidikan Multikultural
Pendidikan
multikultural merupakan strategi pembelajaran yang menjadikan latar
belakang budya mahasiswa yang beraneka ragam digunakan sebagai usaha
untuk meningkatkan pembelajaran mahasiswa di kelas dan lingkungan
kampus. Kondisi yang demikian itu dirancang untuk menunjang dan
memperluas konsep-konsep budaya, perbedaan, kesamaan, dan demokrasi. Ada
pula yang menyatakan bahwa pendidikan multicultural adalah sebuah ide
atau konsep, sebuah gerakan pembaharuan pendidikan dan proses. Konsep
ini muncul atas dasar bahwa semua mahasiswa, tanpa menghiraukan jenis
dan statusnya, punya kesempatan yang sama untuk belajar di kampus
formal.
Dua
definisi di atas tampaknya lahir pada seting historis khusus, yakni
pada lembaga-lembaga pendidikan tertentu di wilayah Amerika yang pada
awalnya diwarnai oleh complement pendidikan yang mengandung
diskriminasi etnis, yang belakangan hari mendapat perhatian serius dari
pemerintah.
Pendidikan
dengan wawasan multikultural dalam rumusan James A. bank adalah konsep
ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe)
dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya
dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman social, identitas
pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun
Negara. Sementara menurut Sonia Nieto, pendidikan multicultural adalah
proses pendiudikan yang komprehensif dan mendasar bagi semua peserta
didik. Jenis pendidikan menentang bentuk rasisme dan segala bentuk
diskriminasi di kampus, masyarakat dengan menerima serta mengafirmasi
prularitas (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi, gender, dan lain
sebagainya) yang terefleksikan di antara peserta didik, komunitas
mereka, dan guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah
melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam
setiap interaksi yang dilakukan di antara para guru, murid, dan keluarga
serta keseluruhan suasana belajar mengajar. Karena jenis pendidikan
ini merupakan pedagigi kritis, refleksi dan menjadi basement aksi
perubahan dalam masyarkat, pendidikan multikulral mengembangkan
prinsip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial.
sumber :http://curuk-sinobi.blogspot.com/2012/05/pengertian-multikulturalisme-sejarah.html
sumber :http://curuk-sinobi.blogspot.com/2012/05/pengertian-multikulturalisme-sejarah.html